Rute-Rute Angkutan Umum di Indonesia

Istimewa

Saya telah menyelesaikan rute-rute utama angkutan umum, terutama yang dilayani armada bis, di sebagian besar Indonesia. Tersisa rute Kalimantan (kecuali Balikpapan – Samarinda sudah kelar). Yang saya tuliskan dalam catatan-catatan perjalanan itu adalah sistem pelayanannnya, armadanya, kontur jalannya, serta profil para penumpang, dan situasi tatanan kota di kanan kiri jalannya. Gara-gara ini saya disangka sebagai agennya Dishub. Untung saja saya tidak naik banding di pengadilan terkait pencatutan nama dan instansi.

Tentu saja, semuanya hanya sepintas dan selayang pandang karena di kota-kota yang saya lalui saya hanyalah melintas. Akan tetapi, melalui referensi yang terkumpul, saya dapat menyelipkan sudut pandang dalam tulisan, baik dari perspektif ekonomi atau sosiologi, atau lainnya. Itulah mengapa saya lebih suka menulis daripada membuat video (meskipun data video juga saya simpan). Dengan menulis, endapan pemikiran dapat direnungkan dan dituangkan ulang secara lebih subtil. Dengan begitu, tulisan akan lebih reflektif, tidak sekadar menjadi sajian pemandangan semata-mata.

Dalam hal kebermanfaatannya, catatan-catatan perjalanan seperti ini barangkali mirip yang dilakukan I Tsing pada ratusan tahun yang lalu: tidak dianggap penting. Belakangan, catatan pelancong dari Tiongkok tersebut justru jadi pemantaik wacanan tandingan seputar asal-muasal Sriwijaya, sebagaimana pernah diliput oleh National Geographic, padahal dulu beliau tidak memproyeksikan bukunya terbit di Gramedia atau Diva Press, lho. Bedanya, saya berharap, buku saya ini berguna banget, terutama bagi DAMRI dan perusahaan otobus lain, juga Dishub dan terutama para calon penumpang. Niat sudah dimantapkan dari awal.

Catatan perjalanan ini tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan buku perjalanannya Paimo yang telah menyelesaikan sekian rute bersepeda di dunia, mulai dari hutan-hutan di Peru sampai Punta Arenas, dari ke puncak Kilimanjaro sampai ke Samarkand. Dia menulis lebih detil karena wahananya bergerak lebih lambat, menggunakan sepeda ontel. Intinya, semakin lambat laju kendaraannya, semakin lengkap catatannya. Maka dari itu, catatan yang ditulis pejalan kaki, seperti Ibnu Batutah atau Lawalata, akan lebih lengkap ketimbang yang naik sepeda motor. Demikian pula, yang saya tulis akan beda dengan yang dilakukan Paox Iben dan Wing Irawan, juga berbeda dengan yang dilakukan Benny Arnas (menggunakan berbegai macam moda transportasi), Farid Gaban, ataupun Agustinus. Saya hanya fokus sama angkutan umum, ya, angkutan umum, dan itu semua dilakukan melalui perjalanan solo (sendirian).

Kendala dalam melakukan perjalanan ini, bagi saya tentu, adalah pendanaan dan waktu. Acapkali ada dana, tapi jadwal mengajar dan kondangan sangat padat: gagal. Tapi, yang peling sering terjadi adalah unsur pertama, yaitu dana. Saya memamng tidak mengajukan adanya suplai dana dari instansi karena biasanya harus melampirkan surat ini dan itu, harus begini dan harus begitu, lebih-lebih jika harus melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu dari kepala desa, ogah ah.

Setelah rute bis di Jawa dan Bali selesai dalam dua buku, maka buku ketiga ini akan memuat perjalanan saya di rute Sabang – Madura, Manado – Makasar, dan Larantuka – Praya. Setelah rute Pontianak – Palangkaraya – Banjarmasin – Balikpapan selesai, insya Allah kesemua artikel akan disatukan dalam sebuah buku. Sambil menunggu dana terkumpul, saya bikin lagu-lagu hard rock dulu, manatahu ada tawaran manggung bersama orkestra bersama Erwin Gutawa pada Hari Santri 2022 mendatang.

Pameran Lukisan di Pondok Pesantren

Saya tidak sering melihat pameran, hanya beberapa kali saja menghadiri pembukaan atau menikmati lukisan. Meskipun di masa kanak dulu pernah belajar menggambar, tapi jalan seni yang akhirnya saya tekuni adalah sastra. Sebab itu, meskipun sedikit, masih tersisa chemistry saya terhadap lukisan.

Pameran karya seni lukis adalah hal biasa terlihat di dalam galeri-galeri. Akan tetapi, pameran menjadi sesuatu yang langka jika diadakan di pondok pesantren, lebih-lebih materi lukisan bukanlah mazhab realias. Dan hal itulah yang sedang berlangsung di PP Annuqayah, daerah Al-Furqaan Sabajarin, Guluk-Guluk.

Duo pelukis, Peni Citrani Puspaning (Surabaya) dan Sekartaji TSU (ISI Jogjakarta) memamerkan karya-karya mereka di ruang perpustakaan Madaris 3 Annuqayah, PP Annuqayah daerah Al-Furqaan Sabajarin, Guluk-Guluk, mulai dari tanggal 25 Desember 2023 hingga 30 Desember 2023. Sebagai orang yang pertama kali diajak rembukan untuk pameran ini, tentu saja saya bingung pada awal mulanya, mengingat target penikmat adalah kalangan santri dan lukisan yang dipamerkan pun bukanlah lukisan realis, bahkan cenderung surealis. Saya iyakan saja tanpa pikir panjang karena alasan berikut.

Ada dua alasan yang melatarbelakangi penyambutan ini. Pertama, ide dan gagasan seni lukis mereka bertema lingkungan (tema tertulis adalah; envi.ro.mental). Ini selaras dengan visi komunitas PSG (Pemulung Sampah Gaul) di SMA 3 Annuqayah yang merupakan kelompok siswa yang bergerak di bidang penyadaran lingkungan, khususnya pengendalian limbah plastik-sekali-pakai (single-use-plastic); kedua, pameran seni rupa atau seni lukis adalah hal baru di pondok pesantran, khususnya Annuqayah Guluk-Guluk, lebih khusus lagi jika seniman lukisnya berasal dari luar pesantren dan bukan karya lukis realis. Komunitas pelukis pondok rata-rata menempuh jalur sketsa atau realis. Barangkali ada mazhab di luar itu, tapi tidak banyak.

Acara yang dibuka oleh Bapak D Zawawi Imron ini dihadiri oleh perwakilan santri di lingkungan pondok pesantren Annuqayah, beberapa guru, ibu nyai, santri, dan undangan umum. Acaranya ditempatkan di halaman SMA 3 Annuqayah. Senarai acaranya sangat simpel. Tidak ada botol minuman plastik di acara itu. Minuman yang disuguhkan juga memberdayakan pangan lokal dengan menyajikan penganan lepet, pisang rebus, dll, dan wedang sereh. Beginilah mestinya kegiatan itu: semua elemen pendukung acara harus saling menopang.

Saatnya kita, terutama santri dan para pengunjung, mulai berpikir tidak hanya melalui teks yang dibaca, melainkan juga melalui permenungan dan refleksi berdasarkan lukisan. Sebagaimana dikatakan dalam pepatah, bahwa a picture paints a thousand words (satu gambar/lukisan menjelaskan seribu kata), maka ia sulit terbukti jika bukan si penikmat (dan/atau kurator) yang turut menafsirkannya sendiri.

Biennale Jatim X, Karcis-Karcis dan Sambal Tomat

Berangkat tergesa-gesa dari rumah, diantar sepeda motor Astrea Prima yang maksimal melaju 50 km/jam untuk kecepatan aman, sembari mengingat-ingat barang penting yang mungkin tidak terbawa ke Biennale Jatim dari atas sadel belakang, dengan percik-percik air masih tersisa di kepala atau terserap kaos dalam karena tadi tidak handukan, saya telah dihadang gangguan padahal baru menempuh satu kilometer pertama perjalanan menuju Sidoarjo kali ini. Ya, mendadak perut mules dan yang terbayang berikutnya bukanlah kloset, melainkan gangguan-gangguan lain yang sangat mungkin bakal membuat saya terlambat datang ke acara diskusi karcis di Rumah Budaya Malik Ibrahim, Sidoarjo, sore harinya, 22 Desember 2023.

“Kiri di tanjakan, Pangurai, masuk!” kata saya memberikan aba-aba kepada pengemudi motor.

Eh, tiba di TKP, saya kepergok tuan rumah: paman saya sendiri. “Mau numpang WA, eh, WC, Om,” seru saya sebelum beliau bertanya. Tapi, apa yang terjadi?

“Gak pernah nongol ke sini, sekali nongol cuman numpang WC,” kata beliau. Skak-ster, saya membuang muka, masuk ke ruang ‘evaporasi’, menuju jamban.

Kata-kata itu terasa lebih pedas daripada sambal cabe berlumur tomat yang barusan saya makan, tersangka utama yang menyebabkan saya harus mencari toilet di 2 kilometer pertama bagi 167 kilometer berikutnya ini.

“Kok bawa tas, mau ke mana?” tanya beliau begitu saya nongol dari toilet.

“Ke Sidoarjo.”

“Oh, ya, sudah bareng aku saja. Aku mau ke Surabaya.”

Jadi, tidak disangka, kan? Gara-gara makan sambal banyak di pagi hari dan menyebabkan mules yang semula saya tuduh sebagai penyebab gangguan perjalanan, eh, malah jadi pencahar, eh, malah jadi pelancar perjalanan. Gara-gara ke WC, saya bertemu Paman. Gara-gara bertemu Paman yang kebetulan mau ke Surabaya, akhirnya saya menumpang. Suratan takdir paling ringan semacam seperti ini terkadang tidak kita imani, bahwa alur hidup itu sebetulnya misterius. Kita menganggapnya biasa karena barangkali terlalu jarang mendapatkan kejutan dan kalaupun mendapatkannya kita anggap itu kebetulan lalu lupa bersyukur.

Karena plot perjalanan berubah, maka akhirnya saya bisa tiba di lokasi acara, Rumah Budaya Malik Ibrahim, Sidoarjo, 90 menit sebelum acara dimulai. Ceritanya, dari mobil si paman, saya pindah ke lambung Patas AKAS NR di Kedinding, lalu oper microbus ELF dari pintu keluar Terminal Purabaya menuju lokasi. Dalam dua etape perjalanan dengan dua moda angkutan umum tersebut, terjadi kemacetan hebat di; 1) Medaeng dan 2) di lepas Jalan Layang Jenggolo. Tapi, bonusnya, uang untuk ongkos baru terpakai 35.000 saja: Kedinding – Purabaya Rp20.000; Purabaya – Sidoarjo Rp15.000.

***

Saya menjadi satu dari beberapa orang seniman yang diundang menjadi bagian dari perhelatan Biennale Jatim (ke-)X ini. Berbeda dengan perupa dan seniman lainnya yang memamerkan karyanya (foto, wayang, rajutan, digital art, dll), yang saya pamerkan adalah karcis-karcis dan tiket bis juga peron, khusus untuk zona Jawa Timur. Mas Ayos dan Mas Danny yang awal mula bertandang ke rumah dan mendiskusikan perihal apa yang sebaiknya dipamerkan. Karcis-karcislah yang jadi pilihan.

Karcis dan tiket itu bukanlah hasil karya seni saya sendiri, bukan karya “yang dapat mudah” diproduksi kembali. Ia sudah ada, ready made. Peran ‘intelektual’ saya hanyalah menyimpan, menyiapkan alasan mengapa harus disimpan dan dirawat, mengapa itu saja yang dipilih, dan seterusnya. Dalam diskusi sore yang dipandu oleh Bernard, saya ceritakan semuanya. Kebetulan, beberapa rekan komunitas penggemar bis, yang di antaranya masih menyimpan arsip-arsip tiket dan klipingan koran terkait terminal dan angkutan umum, juga hadir di acara itu. Heran saya karena tiba-tiba ada penampakan penyair Afrizal Malna di sana. Dia juga ikut curhat tentang pengalamannya naik bis kota.

Sebetulnya, karcis yang saya simpan tidaklah terlalu kuno. Tercatat hanya karcis AKAS periode awal 90-anlah yang paling lawas. Andaisaja saya seorang kolektor, mungkin saya bisa berburu tiket atau karcis lain yang lebih jadul. Tapi, itu bukan target saya. Yang saya simpan dan saya pamerkan di Rumah Budaya Sidoarjo tersebut adalah karcis-karcis yang memiliki ‘ikatan batin dan kesejarahan’ dengan saya sendiri: karcis milik sendiri dan masih saya ingat peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi perjalanan tersebut meskipun tentu saja tidak semuanya lengkap terekam dalam ingatan. Akan tetapi, semua karcis tersebut menyimpan memori intelektual, kesan dan kenangan tentang proses kreatif saya dalam berkarya dan menjalani hidup, dari kota ke kota, dari persinggahan ke persinggahan berikutnya, semuanya.

Obrolan dalam diskusi itu pun menjalar dan meruyak. Hal itu tampaknya memang disengaja oleh si pemandu dengan memantik pertanyaan-pertanyaan yang acapkali tidak terduga. Maka, saya pun diminta menyampaikan pandangan-pandangan umum tentang prosesnya, termasuk tentang angkutan umum kota Surabaya yang mengalami senjakala, yang menjadi salah satu penanda ketertinggalan sebuah kota sebab salah satu identitas kemajuan (apalagi untuk kota metropolitan) adalah ketersediaan dan kenyamanan transportasi publiknya. Sudah menghabiskan berapa banyak walikota dan gubernur tuh Kota Pahlawan ini tapi, ya, ternyata masalah ini belum selesai juga.

Di forum itu saya sampaikan, bahwa hampir setiap karcis bis merekam latar perjalanan. Sebagiannya malah sudah saya buatkan catatan perjalanan (telah terbit dua buku serta beberapa buku lain yang temanya serupa). Karcis-karcis tersebut telah melahirkan pandangan baru, sudut pandang yang berbeda dengan orang kebanyakan, bahkan ia telah turut andil dalam merangsang saya untuk melakukan permenungan yang lebih dalam tentang makna kemanusiaan yang mengendap dalam setiap momen dan kilometer perjalanan. Itulah mengapa karcis-karcis tersebut, bagi saya, bukanlah sekadar kertas yang mengalami perbahan bentuk dan disain grafis. Ia lebih dari itu. Di tangan saya, ia melampauinya.

Di antara yang juga dibincangkan adalah rute-rute yang mati maupun yang tumbuh, yang mati suri, serta kemungkinan yang lain. Munculnya Jembatan Suramadu yang menyebakan kehidupan ekonomi pelabuhan Kamal menjadi suram serta Trans-Jawa dan dampak sosial dan ekonomi yang disebabkannya. Tidak lupa saya ingatakan, bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat dengan mobilitas sangat tinggi dalam perspektif angkutan umum dengan bis ini. Salah satu buktinya adalah trayek ke Madura, trayek yang hidup 24 jam meskipun jalurnya buntu, mentok di Kalianget (Sumenep).

***

Sehabis acara, saya diajak makan di Rawon Gajahmada, tapi saya memesan nasi pecel saja (karena sudah pernah menyantap rawon pada kesempatan sebelum ini, selesai acara pembukaan Biennale, 9 Desember yang lalu). Setelah itu, Danny dan Bernard mengantar saya ke kafe Jungkir Balik yang terletak tepat di sisi utara bundaran GOR Delta. Loh, kok bukannya ke Terminal Purabaya? Soalnya, rezeki menumpang ternyata masih ada, yaitu sebuah mobil yang kebetulan sedang bergerak pulang dari Paiton menuju Madura, yang dengan begitu membuat pengeluaran biaya transportasi tetap tidak bergeming, tetap Rp35000 untuk rute rumah-Sidoarjo-rumah yang total jaraknya (pergi-pulang) adalah 338 km.

Semua yang terjadi dalam perjalanan saya tentu telah sesuai suratan. Orang-orang baik begitu banyak yang telah membantu. Tentu saja saya tidak boleh melupakan peran sambal tomat yang ikut serta membuat skema perjalanan menjadi berubah, bahkan telah berhasil memantik saya untuk menulis artikel ini.

PERTAMA KALI KE BANJARMASIN

Per hari ini, Selasa, 15 Maret 2022, selesai sudah rangkaian acara kunjungan (perwakilan) Pengasuh PP Annuqayah (Kiai Naqib & Nyai Fadhilah, Kiai Muhammad Solahuddin, dan saya) serta satu orang perwakilan IAA Pusat, Bapak Fathol Bari. Rangkaian acara haul masyayikh dan reuni diawali dengan serentetan acara silaturahmi, dimulai sejak kami baru tiba di bandara Syamsuddin Noor (Banjarbaru), pada Sabtu, 12 Maret 2022.

Di bandara, pukul 11.09 WITA (terlambat 30 menit dari jadwal pendaratan pesawat) kami dijemput dan disambut oleh sekitar selusin alumni serta sesepuh, Kiai Zuhri. Sambil menunggu Kiai Mamak (Kiai Shalahuddin A. Warits) yang mendarat beberapa menit setelah kami (karena beliau terbang dari Jakarta), kami bertemu dengan alumni-alumni PP Al-Amien Prenduan yang juga sedang menunggu Kiai Fauzi Tidjani tiba di sana.

Dari bandara, rombongan 5 mobil bergerak, menuju kediaman Ustad Khairullah yang letaknya di daerah Wengga Trikora, 20 menit perjalanan bermobil dari bandara. Di sana, kami dijamu makan siang. Setelah shalat, perjalanan dilanjutkan ke posko, di PP Atthahiriyah, Madurejo, Kec. Sambung Makmur, Kab.Banjar. Sebab tidak menggunakan android atau Google Maps, saya tidak menyangka kalau ternyata perjalanan itu sangat jauh, kira-kira 75 km. Namun, rasa bosan itu lunas ketika kami singgah di Kubah Sekumpul, Martapura. Kami berziarah ke makam Guru Sekumpul, yaitu KH. Zaini bin Abdul Ghani yang masyhur dipanggil “Guru Ijay”.

PP At-Thahiriyah ini pertama kali dirintis oleh Kiai Thohir, murid daripada Kiai Ilyas Syarqawi. Kabarnya, Kiai Thohir tiba pertama kali di sana pada tahun 1943, sebelum Indonesia merdeka. Pesantren tersebut mengelola lembaga pendidikan, dari TK sampai aliyah. Letaknya di cekungan lembah. Di tempat inilah kami berkumpul. Pada alumni berdatangan, bersilaturahmi. Pertemuan sangat guyub, akrab dalam melepas kerinduan.

Dari posko ini, malam itu juga, rombongan bertolak ke Panyiuran, ke Madrasah Miftahul Ulum. Madrasah ini dikelola oleh Ustad Syifuddin (suami daripada Kursiyah, alumni Lubri). Kiai Naqib memberikan sambutan. Kiai Mamak membaca doa. Tugas saya membaca puisi. Ya, begitulah efeknya kalau alumni Annuqayah: Mungkin karena selama di pondok Luk-Guluk mereka selalu menyaksikan adanya pembacaan puisi dalam setiap kegiatan haflah pondok pesantren, maka mereka pun menyelipkan rangkaian itu dalam acaranya. Itu bukan saja di Kalimantan, di daerah-daerah lain pun yang sering terjadi juga begitu.

Malam itu, kami tidak bermalam di Panyiuran, melainkan di rumah Pak Dirhum, di Kupangejo. Beliua adalah seorang walisantri. Dua atau tiga putranya mondok di Luk-Guluk. Rumahnya unik, tepatnya disebut eksotik. Dinding, atap, bahkan lantainya pun menggunakan kayu ulin. Oh, iya, hampir lupa. Soal kontur jalan ke Panyiuran dan seterusnya, tak perlulah saya ceritakan betapa ampun-ampunannya. Tidak ada contoh yang dapat dibuat perbandingannya di Jawa maupun di Madura. Perjuangan IAA Kalsel untuk ‘marabu’ masyaikh, cukup ditinjau dari medan jalannya saja, sudah terbilang luar biasa, medan jalan yang membuat bemper sekelas Agya atau Sigra pasti rusak binasa.

AHAD, 13 Maret 2022

Acara ini ada pada hari ini, Ahad 13 Maret, yaitu haul masyayikh Annuqayah dan reuni. Lokasinya ditempatkan di kampung baru, ujung desa Panyiuran, di kediaman Bapak Junaidi. Ternyata, untuk mencapai lokasi yang cuman kurang dari 3 kilometer dari jalan beraspal, butuh perjuangan lahir batin (bagi kami, mungkin, tapi biasa saja bagi mereka). Jalannya benar-benar menyakitkan. Saya jadi paham, kenapa mobil-mobil yang dipilih disini rata-rata tinggi (jarak sasis dengan tanah/aspal) atau sengaja ditinggikan dan menggunakan ban besar. Kami melewati sebuah jembatan tua yang melintang di atas sungai Riam Riwa yang berarus deras.

Dalam pada itu, satu kejutan terjadi, khusus bagi saya. Ada Pak Sainul Hermawan, dosen Unlam yang datang dari ibukota dengan naik sepeda motor. Tak dinyana sekali karena beliau yang pertama kali saya kenal di UNISMA Malang tiba-tiba nongol di situ.

“Saya melakukan perjalanan jauh hanya untuk memastikan bahwa besok Anda akan datang ke kampus kami, di Banjarmasin. Siapkah?”

“Tentu saja, dong, masa enggak?” jawab saya bercanda, “Tapi, ngapain juga mau ke sana, wong saya tidak bawa celana?”

“Gak apa-apa, tidak masalah. Saya yang jamin.”

“Baik, saya sudah dipanggil untuk ngisi materi,” pungkas saya ketika terdengar nama saya dipanggil di pengeras suara mushalla, berpamitan kepada Pak Sainul. “Kita teruskan besok pagi.”

Dari lokasi haul, kami kembali ke posko. Malam harinya, kami beramah tamah di rumah Ustad Syarwani bin Muhammad Hasan. Acara sedikit molor karena dua hal: kami kecapekan dan cuaca sedikit kurang bagus, gerimis. Akibatnya, rencana bermalam di Banjarbaru digagalkan karena hari sudah terlalu malam. Kami terpaksa bermalam di Madurejo.

SENIN, 14 Maret 2022

Pagi sekali, saya berangkat ke Banjarmasin untuk undangan mengisi kuliah umum di Aula Rektorat Universitas Lambung Mangkurat. Penyelenggaranya adalah FKIP Bahasa dan Seni. Sementara yang lain (Kiai Naqib & Nyai Fadilah, Kiai Mamak dan Pak Fathol Bari, dll), diundang singgah ke kediaman H. Mansur dan kemudian ke rumah Kiai Zuhri (beliau alumni PPA tahun 1968 dan saat ini mengelola Masjid Raudhatul Jannah, sebuah masjid unik di Kampung Melayu Darat, Banjarmasin). Karena acara ke rumah H. Mansur dan Kiai Zuhri tidak seketat acara di kampus—karena acaranya hanya nyanyap makanan—maka tentu saja mereka tak perlu tergesa-gesa berangkat dari PP Atthahiriyah.

Sebelum ke UNLAM—hampir salah nulis UNMUL (padahal yang ini di Samarinda), saya singgah dulu ke rumah Kiai Zuhri karena ternyata masih ada waktu, anggaplah ini jamak taqdim, mendahului rombongan (sementara ke rumah H. Mansur, saya tak bisa datang). Setelah ada kode dari panitia, barulah kami berangkat ke kampus yang jaraknya tak jauh, dekat banget bahkan.

Yang membuat acara di UNLAM itu mengesankan adalah karena saya ditemani oleh pejabat-pejabat kampus yang bertahan duduk sampai akhir. Mungkin karena tak satu pun dari mereka yang kena encok atau asam urat, semua sehat, tidak seperti biasanya yang hanya nongol di awal. Entah itu kebiasaan di UNLAM atau karena keberuntungan saya saja? Kayaknya, sayalah yang beruntung sehingga bisa ditemani Korprodi Pak Sabhan dan Prof. Jumadi, juga Pak Fatah dan Bu Rusma Noortyani, menghabiskan 90 menit di dalam ruangan sampai acara kelar.

Tentu saja, ini sangat membanggakan bagi saya, apalah saya ini hanya receh, yang datang ke Kalimantan Selatan untuk acara haul tapi kemudian dimuliakan lagi untuk hadir di majlis ilmu, di kampus pula, ngomong tentang pernak-pernik menuliskan catatan perjalanan angkutan darat yang kebetulan memang kesukaan saya. Maka, pada kesempatan seperti inilah saya temukan contoh yang tepat untuk peribahasa: sekali dayung, satu banua terlampaui.

Seusai dari UNLAM, saya dijamu makan di restoran terapung, di depan kantor balaikota. Bonusnya, saya bertemu dengan kawan lama, Siti Muflichah, yang sekarang jadi dosen di IAIN. Senang kelewatan kalau begitu jalan takdirnya. Kiai Hasan—salah satu pengasuh di Attahiriyah yang mengantar saya—masih nambahin bonus lagi: ngajak naik perahu ‘klothok’ ke Kampung Hijau, bersama putra Ustad Zuhri, baru setelahnya saya ke Ustad Zuhri kembali. Jika kunjungan pagi tadi hanya menyapa, kunjungan siangnya adalah untuk sempurna. Sementara rombongan yang lain sudah bubar (Kiai Mamak ke Kaltim; Kiai Naqib ke Posko). Tapi, karena hidangannya tidak ikut-ikutan bubar, maka saya masih dipersilakan untuk makan. Laksanakan!

Per hari itu, Senin, seluruh rangkaian kegiatan bisa disebut selesai. Saya hanya nunggu satu malam untuk pulang karena tiket pesawat adalah esoknya, Selasa, 15 Maret. Karena masih ada kelapangan waktu itulah, saya gunakan yang tersisa untuk berziarah ke makam Syaikh Arsyad al-Banjari (ulama yang mengarang banyak kitab, salah satunya Sabilal Muhtadin), bahkan, dalam perjalanan pulang dengan Kiai Hasan itu, kami masih dianugerahi kesempatan untuk menyambangi famili saya dari sesama Bani Ruham yang tinggal di Tapin, yaitu bibinda Hasantul Azizah binti Mahfudh Amiruddin. Tapi, kunjungan saya tak kurang dari satu jam saja karena setelah maghrib, saya sudah harus tiba di Attahiriyah kembali untuk berbincang tentang belajar dan pembelajaran bersama para santri.

Selasa pagi, kami diantar ke Bandara Samsuddin Noor, dan masih seperti kemarinnya, kami ambil bonus terakhir, ziarah ke Guru Ijay untuk yang kedua kalinya.

Naik Astrea Prima ke Bukit-Bukit

Perjalanan hari ini, 1 Pebruari 2022, dari rumah (desa Guluk-Guluk Timur) ke Bun Barat (Rubaru) saya tempuh lewat jalan beraspal kelas paling jelata, Jalan Desa Kelas III. Sebagiannya malah masih makadam. Ini adalah perjalanan pertama melewati rute dan medan jalan seperti itu.

DCIM\100GOPRO\GOPR3699.JPG

Saya menempuh rute ini karena mencoba mesin Astrea Prima, tahun 1991, setelah diservis. Ternyata, tangguh dan irit. Ngisi pertalite Rp9000 sebelum berangkat, sampai tiba kembali di rumah, BBM-nya masih kembali ke posisi semula, padahal jarak pergi-pulangnya 50 km lebih.

DCIM\100GOPRO\GOPR3704.JPG

Dalam perjalanan pulang, saya mencoba melewati jalan yang berbeda. Saya mengikuti medan jalan berkontur Rahwana: sangar dan kejam. Saya menguji instink, tanpa GPS, mengandalkan firasat karena jalanya banyak sekali cabangnya, ‘akacangka’ seperti perasaan orang yang kurang berperasaan. Masuk kampung, melewati lereng bukit, tercatat hanya satu kali masuk ke tegalan, buntu.  Maklum, daerah-daerah itu, meskipun jaraknya dekat dari rumah (kurang dari 15 kilometer) tapi tidak pernah saya lewati atau saya singgahi sama sekali karena memang tidak pernah punya kepentingan ke daerah itu, seperti daerah Ellak Daja, Ellak Laok, Gadu Timur, dll.

DCIM\100GOPRO\GOPR3702.JPG

Perjalanan naik bis, naik mobil, atau naik sepeda motor, masing-masing memiliki sensasi dan keunggulannya masing-masing. Yang satu tidak dapat dibandingkan dengan yang lain karena memang tidak setimbang dan sebanding. Bagi saya, itu semua harus dicatat, terutama jika perjalanannya adalah yang pertama atau yang kedua dan seterusnya namun memiliki kesan yang berbeda. Sebab, beginilah satu salah cara berbagi pengalaman—atau bahkan ilmu—dengan orang lain secara mudah dan cumi-cumi, eh, cuma-cuma.

Bulan depan, insya Allah jaraknya lebih jauh, ke Trawas, Mojokerto, dalam rangka menghadairi Festival Mata Air, di Trawas.  

Ajar Nulis di Atas Bis

Saya pernah menulis catatan perjalanan dengan judul “Ruang Kelas Berjalan”. Setelah terbit di Facebook pada tahun 2012, esai perjalanan tersebut saya publikasikan ulang di majalah “Kalimas”, tentu saja setelah melewati penyuntingan seperlunya. Menurut saya, juga kata beberapa rekan, judul itu sangat menarik. Jadi, layaklah jika ia dijadikan judul buku.

Esai itu bercerita perjalanan saya dari Paiton ke Probolinggo. Dalam pada itu, saya seorang kernet bis adalah seorang ibukibuk, seorang wanita setengah baya. Saya lantas membayangkan kondisi keluarganya di rumah, anak-anaknya yang besok pagi harus pergi ke sekolah, juga membayangkan siapa yang harus menyiapkan buku-bukunya, di mana ayahnya, dan seterusnya dan sebagainya.

Di dalam bis itu, saya mendapatkan banyak pelajaran dari orang-orang yang ngomong di sekitar, tema-tema yang dibicarakan, serta peristiwa jalanan yang tampak dari kaca depan. Pada saat itu pula saya membayangkan sedang berada di dalam sebuah ruang kelas, tapi memiliki roda dan bisa berpindah-pindah. Papannya adalah kaca lebar di depan. Kami duduk satu arah, seperti duduk di bangku sekolah.

Frase “Ruang Kelas Berjalan” akhirnya saya pilih menjadi judul buku kumpulan catatan perjalanan saya. Buku tersebut unik karena terbit dalam tiga bentuk: pertama, versi e-book dan dijual eceran secara snackbook oleh B-First; kedua, versi cetak dari e-book, dikelola oleh Mizan, dan; ketiga, versi cetak biasa dan terbit di Basabasi. Semua terbitan sudah ditandatangani sesuai Surat Perjanjian Penerbitan (SP). Tak ada pelanggaran hak cipta satu sama lain.

Nah, beberapa waktu kemudian, sebuah perusahaan terbatas (PT) yang bergerak di bidang wisata dan umroh, Enka Wisata Madura (pimpinan Novie Chamelia), menyelenggarakan open trip (perjalanan wisata yang dikelola oleh PT dan tujuannya ditentukan lebih dulu namun pendaftaran peserta dibuka secara bebas) dengan seperti tema/judul itu: Ruang Kelas Berjalan. Pesertanya beragam, ada ibu rumah tangga, pegawai, mahasiswa, dan masyarakat umum. Pengelola pendamping dalam kegiatan ini adalah “Sivitas Kotheka” (Royyan Julian, dkk), sebuah kelompok pegiat literasi di Pamekasan. Saya dan Muna Masyari jadi narasumber dalam kegiatan ini.

Jadi, ceritanya, kami melakukan wisata ke kota Batu, Malang. Tapi, selama perjalanan berlangsung, kami mengadakan diskusi di dalam bis. Di bagian depan, panitia menyiapkan papan dan spidol. Saya menyampaikan materi-materi terkait teknis bagaimana merekam peristiwa yang nantinya bakal digunakan untuk bahan menulis catatan perjalanan.  Kami belajar menulis catatan berjalanan secara langsung dengan praktiknya sekaligus. Sesekali saya memberikan contoh bagaimana menggambarkan peristiwa yang disaksikan di depan atau di luar kaca pada saat bis sedang melaju.

Muna Masyari adalah seorang cerpenis. Dia pun menyampaikan materi yang sama. Bedanya, teknik yang dia gunakan tentu berbeda dengan yang saya sampaikan. Basis dia cerpenis, dan cerpen adalah cerita rekaan, sedangkan basis catatan perjalanan adalah fakta. Di situlah, kami memadukan kedua teknik tersebut untuk menghasilkan teknik menulis catatan perjalanan dari dua sudut pandang.

Setelah tiba di Batu, kami belanja, shalat, makan. Hanya dua jam lebih sedikit, kami lantas pulang. Nah, dalam perjalanan kembali ke Madura inilah terjadi diskusi yang seru. Panitia membebaskan peserta untuk bertanya tentang teknik dan praktik, juga menyampaikan unek-unek dan segala macam tetek-bengeknya. Karena waktu masih tersisa banyak, akhirnya, pertanyaan dan pernyataan dari peserta pun sedikit melantur, tapi toh juga asyik dan dapat kami layani dengan baik.

Sebelum kegiatan ini, saya pernah melangsungkan peluncuran buku di atas bis, tapi tentu jelas berbeda dengan yang diselenggarakan oleh Enka Wisata dan Sivitas Kotheka ini. Sebab, peluncuran buku “Beauty and the Bus” (catatan perjalanan saya selama naik bis di Jawa) bersifat simbolis. Diskusi kurang seru karena dilaksanakan pada perjalanan malam. Peserta lebih banyak yang mengantuk. Yang ini beda, pelaksanaannya siang hari. Setahu saya, ini adalah pengalaman pertama menyampaikan materi kepenulisan sekaligus diskusi di atas kendaraan yang sedang berjalan. Bisa jadi yang pertama di Indonesia, bahkan mungkin juga yang pertama di… ah, gak perlu, ah, gak penting, he, he, he.   

PELAKSANAAN KEGIATAN: 5 Desember 2021
PENYELENGGARA: Enka Wisata Madura & Sivitas Kotheka
ARMADA: PO Kalisari

Jalan-Jalan dan Perjalanan

Setiap kali akan melakukan perjalanan, sesekali—lebih tepatnya seringkali—saya bertanya kepada diri sendiri: pentingkah ini saya lakukan? Apakah bisa diwakilkan? Apakah tidak bisa ditunda?

Tidak seperti dulu saat masih muda, sekarang, saya selalu dihantui oleh segerombolan pertanyaan “untuk apa”, “demi apa”, “tujuannya apa” setiap akan melakukan perjalanan. Pertanyaan-pertanyaan pra-perjalanan ini bukan untuk mempertimbangkan dana, waktu, atau unsur yang lain, melainkan di atas semua itu, beyond kata orang. Lalu, apa? Niat!

Saya merasa sangat penting membicarakan niat dalam perjalanan mengingat ini ibarat tema dalam sebuah cerita. Tanpa tema, cerita bukanlah cerita, cerita tak jadi cerita. Begitu pula, tanpa niat, sebuah aksi tidak bernilai apa-apa kecuali kerja-kerja jasmaniah semata-mata. Sebab itu, dalam Islam, kemurahan menjamak dan meringkas salat ditentukan oleh niat. Jarak jauhnya sama, media transportasinya sama, tapi jika niatnya mencuri dan yang satu silaturahmi, maka yang pertama gagal untuk memperoleh kemurahan itu. Nah, dari sini sudah tampak, betapa krusialnya niat.

Dulu, seorang kawan mengundang saya datang ke kontrakannya di Orchard Road, Singapore. Ketika saya tanya untuk apa, dia jawab, “Ya, jalan-jalan saja! Nanti saya ganti semua biaya transportasi dan saya tanggung biaya akomodasinya.” Maka, supaya tidak menyinggung perasaannya, saya sampaikan kepadanya agar dia menyelenggarakan sejenis acara kecil atau apalah, supaya kepergian saya dari rumah—dengan resiko meninggalkan keluarga dan murid-murid—sedikit dapat imbas pahalanya.

“Baiklah, akau akan adakan acara Yasinan di kediamanku,” katanya, tapi dia tertawa.

Pada hari H, berangkatlah saya ke Singapore seorang diri. Benar, ada acara di sana. Kami baca Yasin bersama. Yang ikut dalam acara tersebut hanya 4 orang saja, tidak lebih: saya dan 3 orang perwakilan tuan rumah. Yah, begitulah.

Begitu penting niat ini saya garis bawahi dalam setiap perjalanan sehingga saya merasa perlu menulis buku khusus untuknya. Maka, terbitlah buku “Safari”. Buku ini berisi panduan perjalanan, terutama melakukan perjalanan dengan kendaraan bermotor maupun naik angkutan umum. Di sana, saya juga membahas hal inti bagi seorang muslim, yakni panduan shalat dalam dan pada saat melakukan perjalanan. Yang terakhir, saya juga mencantumkan adab-adab yang mesti dijaga dan doa yang sepatutnya dibaca.

Apakah perubahan orientasi seperti ini terjadi karena usia? Saya kira iya, tapi bisa juga tidak. Yang pasti, apa pun yang terjadi, niat harus sudah ada sebelum langkah pertama dimulai. Dengan demikian, kita bakal mendapatkan—sekurang-kurangnya, pahala niat dan juga target yang kita rencanakan apabila itu terkabulkan.

Sarang Building: Main ke Jumaldi Alfi

Sarang adalah tempat tinggal burung. Sejauh ini, saya juga mengenal Sarang dalam wacana yang lain, yaitu sebutan untuk nama desa yang identik dengan pondok pesantren asuhan Mbah Moen, di ujung timur kabupaten Rembang sana. Kini, entri Sarang masuk satu lagi ke dalam daftar pengetahuan saya: studionya Jumaldi Alfi.

Beliau ada seorang pelukis. Saya mengenal beliau secara kebetulan saat beliau pergi ke Madura, ikut Prof Gaffar Karim bertandang ke Madura, bersama Rifqi Fairuz dan Iqbal Aji Daryono, ke tempat saya di Madura, tepat setahun yang lalu. Baru setahun kemudian, saya bisa melakukan laga tandang ke Sarang, di Banguntapan, Bantul.

Saya sama sekali tidak menyangka kalau dia seorang pelukis, mengingat beliaunya identik—di foto-foto Facebooknya—dengan jaket terbuka sehingga kaosnya tampak: Iron Maiden, Anthrax, Testament, Kreator, dll. Kumis yang lebat dan janggut panjangnya sepintas malah lebih mengesankan dia seorang pentolan band metal, bahkan mirip Tom Araya, vokalis band metal Slayer.

Kembali ke Sarang…

Sarang adalah tempat seni dan juga kafe. Di sana, Alfi membangun sarang besar dari besi, mirip sangkar tyrexsaurus dalam Jurassic Park. Kalau kita datang dan memarkir kendaraan di halamannya, kita bakal disambut tembok besar yang tertutup tanaman merambat (sejenis creeping fig), kesan asri tapi juga horor malahan (entah karena saya datang bakda maghrib, ya?). Di baliknya teradapat rangka besi, seperti sarang tyrexsaurus dalam Jurassic Park. Pokoknya, kalau kita masuk ke dalam, akan disambut hutan mini, begitu lebatnya tumbuhan di dalam, dengan rumbai-rumbai tanaman.

Di bawah sana, di lantai dasar, ada pendapa balaikambang, pendapa yang y dikelilingi kolam ikan. Di ponjok barat daya, ada kamar, entah buat tamu atau buat si empunya saat bertapa. Dan kamar ini adalah satu-satunya kamar yang bisa ditempati tidur di lokasi yang sangat luas ini. Sarang juga menyediakan kafe. Ada namanya.

Sebagai ruang seni terbuka, tempat ini menyediakan studio tertutup dengan bingkai kaca transparan. Ruangnya cukup buat hadirin 50-70 orang. Agaknya, balekambang itu adalah imbangan, sebagai tempat acara terbukanya. Secara keseluruhan, sejatinya, di pojokan lain, di tempat ini, sebetulanya masih cukup layak dan luas untuk ditempati acara pementasan teater dan sejenisnya.

Sarang II

Jumaldi Alfi juga membangun Sarang II, berada tak kebih 10 meter dari Sarang I. Sarang II ini, menurutnya, diprioritaskan untuk galeri seni dan pameraan seni rupa, lukisan khususnya. Sarang II bahkan lebih luas lagi secara tempat, juga lebih strategis untuk pementasan musik karena rumah penduduk di kanan-kirinya agak jauh. Sementara di sisi belakang adalah sungai.

Sarang II memiliki tempat parkir yang luas, bahkan saya kira bisa diukur dengan citra satelit Wikimapia. Kalau lampu-lampunya dinyalakan sebagian saja, dan kita datang malam hari, maka sudah cukup syarat untuk uji nyali jika kita mau masuk ke dalam, saking luasnya. Di pintui masuk, ada pohon kamboja dan pulai.

Setelah gerbang, kita masuk ke area kedua. Kita akan bertemu dengan kolam ikan yang sangat besar (beruntung tempat ini dilewati kali yang airnya mengalir), bersanding dengan kebun klengkeng. Di atasnya, ada bangunan besar, mirip gudang. Kata si empunya, itu sekolah seni yang sudah dibangun dan sudah jadi. Masih ada satu bangunan klasik yang tampaknya bisa dibuat tempat tidur. Di ujungnya, di bagian bawah, ada galeri besar untuk pameraan lukisan.

Pada saat saya ke situ, 26 Juli 2020, tampak ada bangunan besar lain yang sedang dibangun, entah untuk apa. Saya penasaran, tapi malas lagi bertanya sama beliaunya mengingat saya ingin segera pergi dari tempat itu karena ada acara tahlilan dan baca puisi di kafe Main-Main, di Sorowajan. Di samping itu, saya datang juga pada waktu yang kurang tepat. “Mestinya datang sore hari,” kata dia. “Saya sudah nunggu Anda dari sore di sini,” ujarnya.

Di atas semua itu, sebagai tempat seni, sungguh tempat ini sangat indah sekali.saRAng2-800x600 httpsabinebvogel.atkunst-in-yogykarta

sumber foto: httpsabinebvogel.atkunst-in-yogykarta

Kenangan Bersama Fajar Setiawan

74476906_1385175734976912_2118786132522041344_nPernah suatu sore, Fajar datang bersama Dewi, istrinya. Jarang sekali saya lihat pemandangan seperti ini. Anak-anak di kos sudah mulai berfantasi, bakal nemu buka puasa yang lumayan enak. Sebab, di hari-hari yang lain, buka puasa kami kan ya gitu-gitu saja.


Halo, Mas!”

Kata kawan kos yang rata-rata sudah kenal sama beliaunya.
“Halo…” balasnya.

Mas Fajar lalu mendekat ke saya, menyatakan suatu kalimat yang intinya dia buru-buru, tidak bisa berlama-lama karena sedang bersama istri, anak, dan pamannya juga. “Ini buatmu!” katanya, sembari menyerahkan isi kantong plastik dan sambil melangkah menjauh, menuju Kijang Super. Saya mengangguk dan berterima kasih. Tapi, saya rasakan, ada yang ganjil. Kantong plastik itu rasanya terlalu ringan untuk ukuran nasi daging atau ayam goreng.

Giliran Fajar pergi dan saya kembali bertemu kawan-kawan, ah, penonton bukan kecewa, tapi malah tertawa. Kantong plastik itu isinya ternyata jamu gemuk. Mereka tertawa kiranya bukan karena dugaan yang salah, tapi juga mungkin karena saya yang kurus. 

Itulah sekelumit kenangan yang melekat dalam pikiran saya dan beberapa orang teman yang berada di lokasi kejadian. Kesan itu sangat membekas. Buktinya adalah; ia kerap diceritakan ulang dan kami tidak bosan. Dan esai memorabilia ini sudah lama ditulis, sekitar 5 tahun yang lalu, ditulis ulang karena demi mengenang kawan yang telah berpulang beberapa waktu lalu.

Saya pernah tinggal beberapa lama di Solo (bukan dalam waktu yang lama, sebentar-sebentar tapi dua tahun lebih rentang masanya, kira-kira tahun 2001-2003). Ketika itu, saya masih aktif kuliah tapi sudah tidak ngekos, numpang di sana dan sini. Saat itu, saya punya teman akrab dari Solo, tepatnya dari Sukoharjo. Mereka adalah Fajar Setiawan Roekminto dan Siti Muslifah. Keduanya berjejaring sesama UNS (yang oleh sebagian teman saya disangka Univ. Neg. Solo, padahal Univ. Neg. Sebelas Maret). Nah, saya akan bercerita pertemanan saya dengan Fajar Setiawan ini, yang dua hari lalu meninggal dunia.

Awal-awal perkenalan kami, dia ngundang saya buka puasa di rumahnya, di Gedangan, Solo Baru, ke arah Baki. Tentu saja, undangan ini aneh karena saya tahu dia tidak menganut keyakinan akan kewajiban puasa Ramadan.

“Datang, ya, ke rumahku! Ada acara buka bersama.”

“Oh, ya? Kapan?”

Fajar lantas menyebut tanggal.

Dan pada tanggal itu, saya datang ke acara yang disebutnya buka bersama tersebut. Ternyata, acara di sore itu adalah acara kopdar (kopi darat). Ya, dia adalah anggota penglaju Solo-Jakarta yang sering pergi-pulang naik keretaapi Fajar Utama. Entah apa nama komunitasnya, saya tidak ingat.

Saat acara sudah dimulai, anggap saja dimulai karena tidak ada aba-aba secara resmi, di antara mereka ada yang tiba-tiba bergeser ke emperan.

“Mau ke mana, Mas?” tanya saya.

“Mau merokok dulu, di luar,” bisiknya seraya misem, “Udah kecut, nih. Maaf, ya!”

Kejadian sore itu menandai kesan pertama bagi saya: buka bersama tapi ada yang nunggu maghrib malah sambil merokok di pojokan, di tempat yang agak terlindung dari pandangan orang.

***

Tempat pertama kali yang saya tuju di Solo adalah Carikan, rumah Ibu R. Ay. Tatiek Winarno, pemilik “Sekar Kedhaton”. Rumah beliau berada di Jl Gajah Suranto 7 , sekitar 150 meter baratnya Pasar Klewer, bersebelahan dengan dinding dan pojok benteng. Beliau adalah seorang perias busana pengantin. Beberapa kali saya berkunjung ke rumah ini, rumah dan pekarangan yang besar yang dihuni oleh lebih satu keluarga dan lebih dari satu keyakinan. Dari tempat ini, saya mulai tahu betapa di tempat yang jauh dari rumah saya tersebut ada orang yang hidup damai dengan beda-beda iman. Kesan ini, lagi-lagi, juga tergurat di dalam pikiran.

Kenangan tentang Solo sebetulnya bukan sekadar tentang Fajar, pluralitas, keyakinan, dan stasiun Solo Balapan saja, bukan itu saja. Di sana, banyak pengalaman yang mengesankan, bukan cuma itu. Pengalaman ‘tragis’-nya ada juga, misalnya waktu pergi ke Solo naik Honda Astrea Prima dari Jogja enggak tahunya orangnya tidak ada di tempat, pergi entah ke mana. Mana kena hujan pula sepanjang jalan. Maklum, kala itu, saya tidak menghubunginya lebih dulu karena belum punya ponsel, beda dengan dia yang hidupnya sudah lumayan mapan dan karenanya punya ponsel (dia adalah seorang dosen (belakangan jadi dekan di Fakultas Sastra) di UKI, Cawang, Jakarta.

Perjalanan ke Solo yang paling sering dilakukan dengan Prambanan Ekspres, kereta jarak dekat: Jogja-Solo. Dan dari Jogja, saya naik dari Lempuyangan, turun di stasiun Solo Balapan. Setiap kali naik kereta ini, selalu saya punya kesan mendalam manakala tiba di stasiun. Saya sangat suka tempat perhentian tersebut, tapi tidak menyukai perjalanannya. Mengapa tidak naik bis? Alasannya adalah posisi terminal yang tidak menguntungkan jika saya mau tempat tujuan. Kalau tak salah, hanya sekali saya naik bis ke Solo dan naik bis medium dari Tirtonadi ke Solo Baru.

Dalam banyak hal, kami punya beberapa kesamaan, meskipun beda-bedanya juga banyak. Dalam hal ini, saya tersanjung karena Fajar telah memberikan keistimewaan buat saya di rumahnya. Mengapa istimewa? Banyak jawabannya, tapi salah satunya adalah karena saya diberi ‘lisensi’ untuk pakai sandal di atas rumahnya ketika mau shalat sementara mereka tidak. Ya, saya punya sandal jepit khusus alas kaki di atas, di dalam rumah, yang digunakan hanya untuk shalat. Saya punya sajadah sendiri dan ‘pojokan sendiri’ untuk shalat di dalam rumahnya yang di dinding-dindingnya terpajang beberapa salib.

Saya kenal dengan iparnya, Dodit. Dengannya, saya punya kesamaan yang lain: sama-sama menyukai lagu rock. Dia juga pernah ngajak saya bertemu kawan-kawan bandnya di sebuah studio, di tengah kota Solo. Kami akrab, tapi jarang bertemu karena dia pergi pagi hari ke kantor, ke tempat kerjanya, sementara saya kadang pergi sore, keluar rumah, saat dia datang.

Selama datang dan pergi ke Solo Baru, banyak sekali pengalaman keluyuran. Kadang main ke tempat orang lain yang agak jauh. Pernah juga saya “menyasarkan diri” hingga ke jalan akses Tawangmangu. Begitulah, lalau lagi bingung mau ngapa-ngapain, kalau sudah bosan tinggal di rumah, bosan nonton televisi, saya dipersilakan Fajar agar keluyuran sendirian, bawa sepeda motornya: GL Max kesayangannya.

Selepas kuliah, dia sempat bekerja sama dengan saya, menerbitkan bukunya, “45 Menit X 2 Ala Indonesia” (Penerbit Djambatan). Saya diminta nulis kata pengantar di sana, tapi saya menolak karena tidak bisa. Fajar ngotot agar saya tetap membuat kata pengantar untuk buku kumpulan anekdot sepakbolanya itu. “Sebisanya!” desaknya. Jadilah! Kata pengantar pakai puisi. Dan salah satu kesan lainnya terkait ini adalah; dia berhasil mempengaruhi saya jadi penonton bola liga-liga Eropa (ketika itu liga di Indonesia sama sekali tidak menarik minat saya) hingga saya pernah kecanduan nonton sepakbola selama 2002-2008. 

Dia juga sempat mendaulat saya hadir di kampusnya, di Fakultas Sastra, Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, bersana Donny Anggoro ketika itu. Sejak acara sastra di Fakultas Sastra UKI itu, mungkin tahun 2006, saya lupa tidak mencatat—kami tak pernah bertemu lagi. Kami hanya dihubungkan lewat telepon dan SMS. Saya bahkan tidak tahu apakah dia masih wira-wiri Solo-Jakarta, tinggal di Jakarta, atau sudah menetap di Solo dan sesekali ke Jakarta. Terakhir saya ke rumahnya di Solo Baru pada 27 Des 2007 di Solo, saat terjadi banjir besar dari Bengawan Solo. Akhir tahun 2009, saya  ke Solo Baru lagi, tapi tidak ketemu Fajar, cuma ketemu Dodit, iparnya. Dan pertemuan selanjutnya, 25 Maret 2011, terjadi lagi di UKI yang waktu saya mampir sebelum pergi ke ke IIBT di Kemayoran.

Sejak lepas itu, kami sangat jarang berkomunikasi. Bertemu tidak sama sekali. Hanya lewat Facebook, sesekali lewat SMS saja kami terhubung.

Dan entah ada angin apa, 6 September 2014 dia datang bersama beberapa orang, main ke rumah saya di Madura. Yang mengejutkan saya, dia juga mengaku pindah agama. Dia sedikit cerita tentang pengalamannya bekerja di KPU Tarakan, Kaltara. Sebagai teman, saya percaya saja, berbaik sangka saja. Karena sesungguhnya, iman atau keyakinan itu adalah rahasia terdalam setiap pribadi yang tak perlulah saya interogasi seberapa dalam ia diyakini. Saya sadar dan tahu diri:  saya bukan satpam, juga bukan malaikat.

Hingga akhirnya, di antara sekian rencana kunjungan, saya baru bisa membalas laga tandang ke rumahnya di Solo, pada 22 November 2019, enam bulan yang lalu. Namun, ketika itu, saya Fajar tidak tinggal di Carikan maupun Solo Baru. Saya menjumpainya di daerah Sangkrah, dekat pasar Kretek (kalau tak salah), tak jauh dari Jembatan Gilingan, Solo, bersama Istu, istrinya. Satu-satunya putranya, Defa (yang saya tahu hanya saat dia masih kecil, dulu) tidak ada di sana. Saat itu, dia baru sembuh dari sakit. Dia memang meminta saya agar mengunjungi dan menghiburnya. Namun, ketika melihat kondisi fisiknya, saya rada cemas, rasa cemas yang terbukti enam bulan berikutnya. Ya, karena pertemuan itu telah menjadi pertemuan kami untuk yang terakhir kalinya.

(Ditulis 15 Mei 2019, dua hari setelah wafatnya)

Celebis: Manado-Makasar Naik Bis

Apa perbedaan antara naik mobil pribadi dan naik bis umum saat kita melakukan perjalanan jauh? Banyak, dari unsur antropologis-psikologis hingga holobis-kuntul-baris, semuanya ada, eh, beda. Penumpang mobil homogen, sudah saling-kenal. Penumpang bis heterogen, bermacam-macam. Suasana kabinnya saja berbeda, demikian juga sensasi perjalanannya.

Sebelum melakoni perjalanan darat dari Manado ke Makassar, saya buka-buka buku ATLAS dulu sebagai orientasi medan (terbitan Mediantana; cet. 2010; dibeli awal 2011; harga Rp10.000). Dugaan saya, garis warna kuning di atlas tersebut menandakan Jalan Nasional, yang merah tebal kelas kabupaten (kolektor), yang merah tipis itu kelas residental, jalan desa. Atlas ini selalu saya bawa karena di samping aman dari pencurian, ia tetap memberikan informasi meskipun tidak ada sinyal.

Titik awal perjalanan adalah Manado. Saya tiba di sana, Jumat, 11 November 2019. Oya. Di Kota Seribu Gereja ini, nyari masjid agak sulit, tapi masih lebih sulit nyari gereja di Tidore (yang berjuluk Pulau Seribu Masjid). Hari itu, Arther, kawan saya, mengajak saya berdiskusi literasi dengan adik-adik MTs Al-Inayah. Sekolah tsanawiyah di sana mungkin tak banyak, atau malah satu dua saja. Dan ini adalah yang nyaris itu.

Saya memulai perjalanan panjang ini pada esoknya, Sabtu, 12 Oktober 2019. Jika kita anggap Celebes itu burung kasuari, maka Manado adalah kepala-nya. Terminalnya tipe A, bernama Malalayang, tapi kecil sekali, lebih kecil daripada terminal Caruban. Bis-bis medium rata-rata berangkat pagi, bis besar (tujuan Palu atau Luwuk) berangkat siang. Setelah lohor, terminal akan sepi, apalagi malam, sudah sepi, masih gelap pula.

Saya naik PO Rajawali (nopol DB-7192-MK; bermesin Hyundai, tapi stirnya pakai punya Xenia) dari Manado. Bis berangkat pukul 05.45 dan tiba bakda asar di Gorontalo. Ongkosnya 100.000 saja. Tempat rehat makan siangnya di Bintauna. Aslinya, bis kami melaju biasa, kisaran 60-70 km/jam. Cuman, karena tidak ada macet, 450-an kilometer dapat ditempuh 9,5 jam saja.

Malamnya, kami ngobrol buku dengan kawan-kawan pegiat literasi, seperti Jamil Massa dan Bang Imal serta kawan-kawan AJI. Perjumpaan ini membuat keluyuran saya lebih ‘literatif’, tidak sekadar rekreatif. Saya nginap di rumah Mak Zubaidi (saudara sekampung) demi alasan silaturahmi dan pengiritan biaya penginapan.

Esoknya (Ahad, 13/10), setelah ziarah ke Ju Panggola Raja Elato, saya berangkat lagi pada 09.27 dari Terminal Dungingi (Gorontalo), menuju Palu, ibukota Sulawesi Tengah. Rute kali ini lebih jauh, yakni 600 km. Saya naik PO BONE RAYA (DM-7574-AA). Sasis dan mesin: Toyota Dyna 135L. Ongkosnya Rp150.000 untuk waktu tempuh 19,5 jam dan jarak 600-an km.

Trek dari Gorontalo menuju Sulteng relatif sama dengan dari Manado, bedanya kelak-keloknya tidak seganas trek pantura-nya Sulut tersebut. Kami melewati Boalemo dan Pohuwato. Kota pentingnya Tilamuta dan Marisa. Bis masuk Moutong, ujung timur Kab. Parigi Moutong (prov. Sulteng), pada pukul 17.00 WITA (hampir maghrib). Kami tiba di Terminal Mamboro, Palu, menjelang subuh. Jadi, begini! Kalau kita susuri kabupaten yang ada di bagian ‘leher’ Sulawesi tersebut sejak matahari terbenam, maka kita baru akan nembus kabupaten berikutnya, Poso, menjelang fajar/subuh.

Setelah sehari dan setengah malam melakukan perjalanan, tiba di Toboli, bis belok kanan, tidak ambil lurus (ke Poso, Luwuk, Morowali). Kami melintasi Kebun Kopi—sebuah hutan sejauh 50-an kilometer—demi mencapai pantai barat Sulawesi, yaitu kota kecil Tawaeli, kota sebelum Palu. Dalam Atlas saya, jalan pintas ini berwarna merah tipis, artinya jalan residental (tapi sekarang sudah diperlebar). Sepanjang Gorontalo ke Palu, selain Hutan Santigi, medan yang tergolong ‘berat’ adalah trek ini.

Di Palu, saya dijemput Burhan untuk ziarah ke SIS. Siapa beliau? SIS adalah pendiri Al-Khairaat, salah satu perguruan Islam yang memiliki peran banyak penting dalam pendidikan. Selain itu, bersama Dedy Aryanto, saya diantar ziarah ke Dato Karamah. Meskipun bukan pejabat, saya diajak ninjau lokasi gempa/likuifaksi, juga diajak nyambangi Neni. Nama terakhir ini adalah pegiat literasi, pendiri “Nemu Buku”.

Saya nginep di kantor-nya Dedi Askari, kantor Komnas HAM. Saya juga baru kenal sama pak ketua ini di sana, diperkenalkan oleh orang ketiga yang sama-sama mengenal kami berdua. Alasan menginap di sana masih sama dengan alasan sebelumnya, gratisan.

Besok paginya, pukul 8, saya melanjutkan perjalaan ke Toraja. Di trek ini, saya tetap pilih bis ¾ atau medium: PO KETTY (DP-7610-KA). Sasis/mesinnya Mitsubishi Ragasa tahun kawak. Saya menukar Rp230.000 untuk rute Palu – Palopo – Rantepao yang jaraknya berkisar 650 km itu. Di dua etape sebelumnya, saya perhatikan, spesies truk/bis Mitsubishi kalau secara jumlah masih kalah sama Dyna dan Giga. Rute ini adalah yang paling lama dan terjauh. Jaraknya 650-an kilometer dengan total lama perjalanan (termasuk gangguan sistem buka-tutup jalan karena perbaikan ruas Kebun Kopi) adalah 24 jam.

Setelah kota Parigi, ada nama desa Dulango dan Masari. Sesudahnya, ada Torue. Mulai Kendaki sampai Tolai, banyak pura di rumah-rumah tepian jalan. Mungkin banyak perantauan Bali di sini, bahkan hingga ke batas kabupaten pun, tempat ibadah orang Hindu masih mudah dijumpai, berselang-seling dengan gereja dan sebagian kecil masjid. Sementara itu, sajian penoramanya berbeda sensasi dengan yang sebelumnya. Hamparan padi dan gunung makin berasa indahnya Indonesia.

Dalam perjalanan kali ini, kami rehat empat kali. Pertama di Sausu Torona, kedua di Taripa, ketiga di Pendolo, keempat di Puncak, Palopo – Rantepao (yang pertama dan terakhir rehat makan, yang kedua dan keempat rehat ngopi). Senang sekali saya amati mereka yang santai dalam menjalani hidup, begitu pula dalam menjalani rute.

Pukul 16.57, kami mencapai Terminal Poso. Sementara di angka 17.47, langit mulai temaram dan kami masuk Tentena. Pada 18.10, azan maghrib berlalu di Sangira. Sesudah itu, di Sulewana, sopir ambil seorang penumpang lagi. ‘Di tempat segelap dan sepelosok ini ternyata ada penduduknya, tho?’ Batin saya. Orang Jakarta perlu dikasih tahu agar jangan berdesak-desakan sampai bikin pulau buatan segala, pindah ke sini saja! Tanah kosong masih banyak.

Selepas Tentena, kami naik-naik ke puncak gunung, tapi tak kulihat pohon cemara di sisi kiri-kanannya, melainkan puspa ragam flora. Kami meliak-liuk. Perut diaduk-aduk. Ah, betapa jauh jarak antar-rumah penduduk!

“Turun mana kita?” Sejurus saya bingung ditanya begitu, baru sadar setelah ingat kalau “kita” itu artinya “kamu” dalam bahasa Toraja. Saya pun menyebut “Rantepao!” sebagai jawaban.

‘Perkotaan’ (perlu saya kasih tanda kutip agar Anda tidak berfantasi seperti kota-kota di Jawa) pertama yang dijumpa sehabis perjalanan dalam gelap adalah Mangkutana (Tomoni), Luwu Timur . Dari Wotu ke Masamba masih dua jam perjalanan. Sesudah kota itu, hanya tersisa lima penumpang tujuan Makale, kecuali saya yang turun di Rantepao (dan sayangnya, kali ini saya tidak bisa ke Kendari karena beda trek dan tujuan).

Ketakjuban itu terjadi saat kami masuk kota Palopo pukul 05.00 WITA. Bis ambil kanan, naik ke atas, ke Toraja. Sopir menepikan bis di halaman sebuah masjid.

“Di sini kalau mau salat,” katanya. Hanya saya seorang diri yang masuk masjid sendirian. Yang lain tentu tidak karena mereka beda keyakinan. Benar kata teman-teman, meskipun semua kru bisnya non-muslim, tapi mereka beri kesempatan saya untuk salat meskipun sendirian. Ini berkebalikan dengan yang terjadi di, ah, malu mau bilang-bilang.

Di tengah perjalanan 60-an kilometer dari Palopo ke Rantepao, kami sempat rehat untuk ngopi. Warungnya tepat berada di tepi jurang. Panorama kelas wallpaper dengan mudah dilihat di hadapan. Rasanya, terlalu indah untuk dituliskan atau direkam dengan gambar. Saya tidak akan menuliskannya karena khawatir terjadi “reduksi keindahan” di saat melukiskannya dengan narasi-narasi murahan.

Pukul 8 saya tiba di Toraja. Nama ini seperti Solo, tak ada di peta. Yang ada adalah Makale dan Rantepao. Keduanya adalah ibukota kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Saya disambut Wemy Evandro Maikel di sana, teman Facebook. Kami lalu tur singkat ke Kete’ Kesu dan wisata minum kopi. Malamnya, saya langsung cus Makassar dengan bis besar, PO Manggala Trans.

Di Toraja, armada-armada bisnya berkelas, seperti Scania K410, Mercedes 2542, atau M.A.N, jenis tronton atau tingkat. Sasis premium macam itu banyak di sini, kayak di Terminal Batoh, Banda Aceh. Pemandangan ini jadi terbalik dengan yang saya lalui selama 6 hari sebelumnya. Agaknya, orang Toraja memang punya kasta berbeda dalam hal selera. Itu tampak setidaknya pada angkutan antar-kotanya. Kata Wemy, “Ada yang pakai Innova Reborn, kok!” Kalau Innova lawas dan LGX, ya, jangan ditanya, saya lihat sendiri. Rupanya, ‘gengsi’ kerbau seleko yang biasanya disembelih di pesta kematian termahal di dunia itu berdampak pada angkutan transportasinya.

Demikianlah, dari perjalanan darat selama tujuh hari kalender di Celebes, dengan jarak tempuh kira-kira 1800 km dan 61 jam duduk di bangku bis, masih kalah rekor dengan perjalanan tahun 2018 dari Sabang ke Madura, yang 202 jam di atas bis, dan jarak sekitar 3800-an kilometer. Meskipun begitu, sensasinya sama-sama unik, sama-sama menakjubkan. Jadi, demikianlah. Ibarat skripsi, esai ini adalah kata pengantar sekaligus kesimpulannya. Adapun batang tubuh alias isinya, datang saja Anda sendiri ke Sulawesi. Surga itu ternyata tidak begitu jauh letaknya.